Makin digemarinya sinetron remaja membuat
beberapa rumah produksi beramai-ramai menggandeng sejumlah artis cilik
untuk menjadi mascot adegan percintaan yang diyakini bisa meraih rating
tinggi. Sebut saja sinetron Candy, Romantika Picisan, Cinderela, Hearth
Series (dulu, kalau skrg a.l Yang Masih Di Bawah Umur, trus Maho Junior
eh C*R *maaf disensor, alergi ) , ham
pir
semuanya menyajikan kisah percintaan yang pemeran utamanya dilakoni oleh
anak- anak usia 12 - 13 tahun atau menjelang masuk SMP. Hal ini
dikhawatirkan bakal meracuni pikiran polos anak- anak demi meniru tokoh
yang diidolakannya.
Seorang gadis dimunculkan di layar kaca, muda, cantik, rambut warna-warni, berwajah judes, anak tunggal dari pengusaha sukses. Dengan seragam sekolah, ia keluar rumah. Kemudian ia terkejut begitu melihat seorang laki- laki muda duduk di teras mengenakan kacamata hitam, tampan yang ternyata sopir barunya. Cerita selanjutnya pun mudah ditebak, ada cinta di antara sopir dan si tuan putri.
Dalam sinetron lainnya digambarkan gaya hidup bebas anak-anak SMP yang pekerjaannya hanya pacaran dan gaul. Hebatnya lagi, mungkin karena penulis skenario atau sutradaranya kebablasan dalam melukiskan pergaulan bebas di kalangan remaja kota, anak-anak SMP sudah mengenal French Kiss.
Memang terkesan gila. Tapi, begitulah kurang lebih gambaran umum sinetron remaja kita dewasa ini: konyol, brengsek, dan kurang nalar. Misalnya, ada adegan anak SMP yang menyetir mobil di jalan raya. Padahal, dari usianya, tidak ada anak SMP yang sudah memiliki SIM. Celakanya lagi, ada sinetron yang menggambarkan anak-anak SD sudah berpacaran.
Jenis-jenis peran yang dimainkan oleh para artis remaja diakui banyak pengamat pertelevisian seringkali bertabrakan dengan
norma pergaulan masyarakat dan belum sesuai dengan tingkat perkembangan psikologisnya. Salah satu buktinya, banyak artis remaja
yang dari pengakuannya belum pernah berpelukan dan berciuman dipaksa untuk memerankan adegan percintaan, pacaran serta menjalankan adegan berciuman, bahkan berpelukan dan bergendongan sesuai arahan skenario.
Contohnya, Amanda Rachel, salah satu bintang muda yang kini menjadi ikon anak-anak dalam serial Candy. Meski sudah sejak usia balita dirinya sudah tidak asing lagi dengan dunia entertainmen, gadis kelahiran 1 Januari 1995 ini mengaku bingung saat memerankan remaja yang sedang jatuh cinta.
"Peran Candy ini berbeda dengan yang lain, di sini aku sebagai gadis yang benar-benar remaja dan sedang jatuh cinta," jelas Amanda yang pernah membintangi delapan belas judul sinetron ini dan sudah bisa menghasilkan uang sejak usia 2,5 tahun dengan menjadi bintang iklan.
Fenomena tayangan sinetron yang mengeksploitasi anak- anak dan remaja secara berlebihan ini mungkin merupakan jalan pintas yang dilakukan sejumlah stasiun televisi untuk merebut tingginya persaingan di dunia pertelevisian saat ini. Menjamurnya tayangan sinetron semacam ini, menurut Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Titi Said, dikhawatirkan akan mengajari anak-anak dan remaja untuk berpenampilan seksi, berorientasi hidup hedonistic dan berpola hidup senang dan serba mudah. Adegan sinetron pun seringkali ditiru dalam prilaku mereka sehari-hari. Atau jika tidak ditiru, minimal akan mengkontaminasi pikiran polos anak-anak. Apalagi, sekitar 60 juta anak Indonesia menonton acara seperti itu di televisi selama berjam-jam hampir sepanjang hari.
"Sudah saatnya pengelola televisi mengkaji ulang berbagai sajian yang ingin ditayangkan. Pihak pengelola televisi diharapkan mengurangi tayangan sinetron yang kurang mendidik," cetus Titi.
Kritik maupun keluhan terhadap sinetron remaja kita sebenarnya sudah sering muncul di berbagai forum diskusi dan media massa, namun belum juga mampu mengubah wajah buram itu. Bahkan aktivis Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) Jakarta B Gunarto pernah mengagas Hari Anak Nasional dijadikan sebagai Gerakan Hari Tanpa TV pada 23 Juli 2006 lalu, mengingat dampak serius akibat tayangan negatif ini. Hal sama pun terjadi saat menjelang peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli 2007, puluhan orang dari Peduli Krisis Moral menggelar demo di Bundaran HI, mengajak masyarakat peduli terhadap bahaya tayangan televisi untuk anak- anak.
Seorang gadis dimunculkan di layar kaca, muda, cantik, rambut warna-warni, berwajah judes, anak tunggal dari pengusaha sukses. Dengan seragam sekolah, ia keluar rumah. Kemudian ia terkejut begitu melihat seorang laki- laki muda duduk di teras mengenakan kacamata hitam, tampan yang ternyata sopir barunya. Cerita selanjutnya pun mudah ditebak, ada cinta di antara sopir dan si tuan putri.
Dalam sinetron lainnya digambarkan gaya hidup bebas anak-anak SMP yang pekerjaannya hanya pacaran dan gaul. Hebatnya lagi, mungkin karena penulis skenario atau sutradaranya kebablasan dalam melukiskan pergaulan bebas di kalangan remaja kota, anak-anak SMP sudah mengenal French Kiss.
Memang terkesan gila. Tapi, begitulah kurang lebih gambaran umum sinetron remaja kita dewasa ini: konyol, brengsek, dan kurang nalar. Misalnya, ada adegan anak SMP yang menyetir mobil di jalan raya. Padahal, dari usianya, tidak ada anak SMP yang sudah memiliki SIM. Celakanya lagi, ada sinetron yang menggambarkan anak-anak SD sudah berpacaran.
Jenis-jenis peran yang dimainkan oleh para artis remaja diakui banyak pengamat pertelevisian seringkali bertabrakan dengan
norma pergaulan masyarakat dan belum sesuai dengan tingkat perkembangan psikologisnya. Salah satu buktinya, banyak artis remaja
yang dari pengakuannya belum pernah berpelukan dan berciuman dipaksa untuk memerankan adegan percintaan, pacaran serta menjalankan adegan berciuman, bahkan berpelukan dan bergendongan sesuai arahan skenario.
Contohnya, Amanda Rachel, salah satu bintang muda yang kini menjadi ikon anak-anak dalam serial Candy. Meski sudah sejak usia balita dirinya sudah tidak asing lagi dengan dunia entertainmen, gadis kelahiran 1 Januari 1995 ini mengaku bingung saat memerankan remaja yang sedang jatuh cinta.
"Peran Candy ini berbeda dengan yang lain, di sini aku sebagai gadis yang benar-benar remaja dan sedang jatuh cinta," jelas Amanda yang pernah membintangi delapan belas judul sinetron ini dan sudah bisa menghasilkan uang sejak usia 2,5 tahun dengan menjadi bintang iklan.
Fenomena tayangan sinetron yang mengeksploitasi anak- anak dan remaja secara berlebihan ini mungkin merupakan jalan pintas yang dilakukan sejumlah stasiun televisi untuk merebut tingginya persaingan di dunia pertelevisian saat ini. Menjamurnya tayangan sinetron semacam ini, menurut Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Titi Said, dikhawatirkan akan mengajari anak-anak dan remaja untuk berpenampilan seksi, berorientasi hidup hedonistic dan berpola hidup senang dan serba mudah. Adegan sinetron pun seringkali ditiru dalam prilaku mereka sehari-hari. Atau jika tidak ditiru, minimal akan mengkontaminasi pikiran polos anak-anak. Apalagi, sekitar 60 juta anak Indonesia menonton acara seperti itu di televisi selama berjam-jam hampir sepanjang hari.
"Sudah saatnya pengelola televisi mengkaji ulang berbagai sajian yang ingin ditayangkan. Pihak pengelola televisi diharapkan mengurangi tayangan sinetron yang kurang mendidik," cetus Titi.
Kritik maupun keluhan terhadap sinetron remaja kita sebenarnya sudah sering muncul di berbagai forum diskusi dan media massa, namun belum juga mampu mengubah wajah buram itu. Bahkan aktivis Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) Jakarta B Gunarto pernah mengagas Hari Anak Nasional dijadikan sebagai Gerakan Hari Tanpa TV pada 23 Juli 2006 lalu, mengingat dampak serius akibat tayangan negatif ini. Hal sama pun terjadi saat menjelang peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli 2007, puluhan orang dari Peduli Krisis Moral menggelar demo di Bundaran HI, mengajak masyarakat peduli terhadap bahaya tayangan televisi untuk anak- anak.
No comments:
Post a Comment