• Breaking News

    21 February 2015

    Yang Bisa Membuat Bangkit itu Bukan Orang Lain, Melainkan...?

    Ada pepatahah Jepang yang mengatakan terjatuh tujuh kali dan bangkit delapan kali. Nilai yang terkandung dari pepatah ini adalah selalu ada kesempatan untuk bangkit, berapa kali pun kita terjatuh. 

    Kondisi seperti ini juga pernah dialami oleh Febrianti, pemilik Amleera Yoghurt. Bangkrut pada saat pertama memulai usaha, namun tak membuatnya surut. Dan tekad pantang menyerahnya itu yang membuatnya kemudian meraih sukses. 

    Febrianti atau yang biasa dipanggil Pepew ini memulai usaha pada Maret 2010. Ia benar-benar nekat dalam memulai usaha waktu itu. Memulai usaha pada usia 19 tahun dengan modal usaha hasil utang Rp 24 juta, jumlahnya tak tanggung-tanggung untuk seorang mahasiswi. 

    Bukan hanya usia muda dan utang yang cukup besar saja yang membuat Pepew terlihat nekat, ia juga berani meminjam uang hingga ke kepala jurusannya. Benar-benar nekat.
    "Saya juga bingung waktu itu tidak malu sama sekali untuk utang. Padahal kalau sekarang bayangin, kayaknya malu banget kalau harus melakukan lagi," 
    Satu lagi mengapa usaha ini terbilang nekat karena Pepew tidak punya pengalaman sama sekali dalam berbisnis yoghurt. Ia hanya merasa tertantang setelah mengikuti training kewirausahaan dengan pembicara Rendy Saputra. 
    “Saya ingat sekali waktu itu kang Rendy bilang kalau ingin belajar renang tidak bisa dengan baca buku atau baca sumber dari internet. Harus nyemplung ke kolam,”
    Kata-kata Rendy tersebut langsung memantik jiwa muda Pepew untuk memulai usaha. Dari modal Rp 24 juta tersebut, ia membuka toko yoghurt—minuman kesukaannya—di Jalan Trunojoyo, Bandung, Jawa Barat. 

    Kenekatannya tersebut ternyata dianggap brilian oleh civitas akademik di Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis, Universitas Pendidikan Bandung (UPI) dan ia dinobatkan sebagai ikon Young Womanpreneur di kampusnya. Hal tersebut membuatnya bangga dan semakin bersemangat untuk menjalankan usaha. Sayang kebanggaan tersebut hanya seumur jagung, tidak lebih dari dua bulan.

    Setelah dua bulan menjalankan usaha, hasilnya tak semanis gelar Womanpreneur yang disandangnya. Tak ada keuntungan berlimpah yang masuk ke kantongnya. Yang datang justru tagihan-tagihan dari para kreditor yang meminta hak mereka untuk dikembalikan. 

    Sementara uang modal tinggal Rp 1 juta. Lunglai rasanya seluruh badan dan tulang seperti dilolosi. Dengan berat ia menutup tokonya yang hanya bertahan selama dua bulan.
    “Rasanya malu sekali waktu itu. Untuk menutup usaha tersebut saya benar-benar hampir tak punya muka. Bagaimana saya yang dijadikan ikon entrepreneur muda menjalankan usaha dua bulan saja sudah tutup. Apalagi untuk ke kampus bertemu dengan teman-teman, berat sekali rasanya,” kenang Pepew.
    Ia pun kemudian menemui Rendy Saputra untuk protes. Rendy pun mencoba memompa semangat Pepew untuk tetap tegar dan mencoba lagi. Tapi hampir tak ada kata yang masuk di ingatan Pepew karena saking frustasinya waktu itu. Yang ada di otaknya hanyalah sang motivator telah menjerumuskan dirinya ke jurang utang yang cukup besar, bagi seorang cewek seumurnya. 
    “Saya seperti disuruh terjun payung, tapi tidak dibekali parasut. Setelah saya jatuh dan tak ada yang menolong,” katanya.

    Pepew pun merenungi nasibnya. Ia merasa orang terbodoh di dunia, karena tanpa pengalaman bisnis secuil pun berani nekat meminjam uang sebesar itu. Tagihan dari para kreditor tetap deras mengalir kepadanya. Untuk ke kampus rasanya terasa semakin berat, karena beban mental dan beban utang. Tapi renungannya berujung pada satu kesimpulan: utang adalah kewajiban dan itu harus dibayar.


    Bermodal sisa uang Rp 1 juta, ia pun memulai usahanya dengan cara yang menurutnya tak kalah memalukan. Ia membuka gerai yoghurt lagi dengan sebuah meja kecil di pinggir jalan di dekat rumahnya. Kali ini tanpa ada karyawan yang membantu seperti ketika membuka toko di Jalan Trunojoyo. Ia membuka “toko” pinggir jalannya pada Agustus 2010 di bulan Ramadhan, 2 bulan setelah tokonya tutup.

    Niat baiknya untuk melunasi kewajibannya ternyata berbuah manis. Di akhir bulan ketika menghitung omzet warung pinggir jalannya, ternyata hasilnya cukup mengagetkan. 

    Ia mendapatkan omzet Rp 10 juta hanya dengan bermodal meja 1×1 meter dan berjualan di pinggir jalan. Hasil ini membuat Pepew bersemangat lagi. Rasa malu yang sempat menghiasi wajahnya langsung ia tanggalkan dan melanjutkan usaha ini dengan percaya diri.

    Dari omzet Rp 10 juta tersebut ia mulai mencicil utangnya. Dan “toko” pinggir jalannya tersebut ternyata cukup ampuh. Dalam waktu tiga bulan omsetnya terus menanjak dan dia sudah bisa membuka gerai lagi di kampusnya. Warung pinggir jalan Pepew sedikit demi sedikit mulai mengangkat dagunya. 

    Ia tak harus tertunduk lesu dan malu ketika ke kampus. Yang paling membuat bangga tentu saja sedikit demi sedikit ia berhasil melunasi utangnya dan semua bisa diberesi setelah enam bulan.

    Toko meja pinggir jalan menjadi titik balik bagi Pepew. Sekarang dia sudah memiliki kedai di Jalan Cihaurgeulis No .4 Bandung. Selain itu ada dua gerai lagi di Bandung dan masing-masing satu di Jakarta dan Cirebon. 

    Setelah merasakan pahitnya terjerembab dalam kegagalan dan manisnya keberhasilan, Pepew sekarang ini punya mimpi untuk membuka pusat jajalan yoghurt dengan konsep bar.

    Jatuh bangunnya Pepew telah membuktikan bahwa ia memang tepat memilih nama brand Almeera yang artinya cewek yang tangguh. Ketangguhan Pepew sekarang ini telah berbuah manis. 
    “Saya sadar sekarang bahwa yang bisa membuat saya bangkit itu bukan orang lain, tapi diri kita sendiri,” tutup Pepew.

    No comments: